Antropologi Budaya : Perburuan Paus di Lamalera

 

Melestarikan dengan Cara Memburu Paus di Lamalera


    Desa Lamalera berada di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, Lamalera diapit dua tanjung, yaitu tanjung Vovolatu dan tanjung Nubivutun. Lamalera merupakan daerah gersang, pantainya terjal dan terdiri dari batu cadas, dan hanya memiliki sedikit pantai berpasir. Desa ini secara langsung menghadap ke Laut Sawu, yang merupakan kawasan konservasi perairan nasional atau dikenal sebagai Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Laut Sawu ditetapkan sebagai Taman Nasional Perairan karena memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat melimpah, serta menjadi tempat migrasi biota laut yang dilindungi. Lebih dari itu, berdasarkan pengamatan Kahn (2005) sepanjang 2001-2005 , beberapa jenis paus telah menetap di Laut Sawu, seperti paus sperma, paus pembunuh kerdil, paus kepala semangka, lumba-lumba paruh panjang, lumba-lumba totol, lumba-lumba gigi kasar, lumba-lumba abu-abu, dan lumba-lumba fraser. Paus, ikan pari, dan lumba-lumba menjadi ikan yang diburu oleh masyarakat Lamalera. Berdasarkan sejarah, masyarakat Lamalera merupakan keturunan pelaut yang berasal dari Sulawesi bagian selatan yang berlayar menuju Pulau Lembata. Setiba di Lamalera, mereka membawa tradisi perburuan mereka. Tradisi perburuan tersebut disesuaikan dengan kondisi laut Sawu, yang menjadi tempat migrasi paus. Maka dari itu, perburuan paus menjadi budaya di Lamalera, karena banyak terdapat ikan paus di Laut Sawu. Perburuan paus memang menjadi pro dan kontra, karena paus merupakan hewan yang dilindungi keberadaannya. Namun, masyarakat Lamalera tetap mempertahankan budaya perburuan paus dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem. 

    Budaya merupakan hasil dari pemikiran dan akal budi manusia. Antropolog Clifford Geertz mendefinisikan budaya sebagai “ide yang berdasar pada pembelajaran dan simbol.” Edward Tylor mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian dari masyarakat.” Kebudayaan memiliki tiga komponen, yaitu semua hal yang kita punya (have), pikirkan (think) dan lakukan (do) sebagai bagian dari masyarakat. Masyarakat Lamalera memiliki budaya berburu paus yang telah dimiliki oleh mereka sejak lima ratus tahun lalu. Dalam budaya masyarakat Lamalera, dikenal dengan musim lewa, yaitu musim untuk menangkap ikan yang berlangsung pada bulan Mei sampai September. Pada musim lewa, masyarakat diperbolehkan untuk berburu ikan paus, ikan pari, dan lumba-lumba, tetapi selain pada musim lewa, nelayan dilarang untuk mencari ikan di laut. Perburuan paus pada musim lewa tidak dilakukan dalam skala besar, dagingnya hanya dikonsumsi oleh masyarakat desa. Hal ini merupakan upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dengan cara tidak mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan. 

    Budaya berburu ikan paus merupakan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Lamalera. Kurniasari, N., & Reswati, E. (2011) mendefinisikan “kearifan lokal merupakan proses pemaknaan suatu komunitas terhadap lingkungannya. Kearifan lokal terhadap lingkungan merupakan norma-norma yang terkait dengan pengetahuan, teknologi, kepercayaan dan kelembagaan yang dipraktekkan oleh suatu komunitas atau masyarakat selama bertahun-tahun dalam mengelola sumber daya alam yang ada.” Pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat Lamalera sangat memperhatikan kelestarian ekosistem laut agar laut tidak rusak dan masih bisa dimanfaatkan oleh anak cucu nantinya. Sebelum dilaksanakannya musim lewa, atau musim untuk berburu ikan, didahului dengan tradisi adat tobo nama fata, yaitu ritual penyelesaian masalah suku dan tuan tanah sebelum berburu paus. Lalu, pada tanggal 1 Mei dilanjutkan Misa Leva, tradisi agama Katolik untuk berdoa kepada Tuhan mengenai musim Leva yang akan dilaksanakan pada 2 Mei sampai dengan 30 September setiap tahunnya. Upacara adat dilaksanakan dengan Misa agama Katolik, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Lamalera beragama Katolik. Mayoritas masyarakat Lamalera beragama Katolik dimungkinkan karena daerah Lamalera termasuk salah satu daerah penyebaran Katolik pertama di Indonesia, yang dibawa oleh bangsa Portugis pada abad ke-16 masehi melalui para misionaris. 
    Budaya perburuan paus yang dilakukan di Lamalera disimbolkan dengan menggunakan alat tradisional, yaitu menggunakan tombak tradisional yang disebut tempuling. Dulu, pemburu paus menggunakan perahu layar tradisional peledang. Namun, saat ini perahu bermesin sudah mulai digunakan, tetapi jumlahnya dibatasi. Dalam satu peledang terdapat dari 4 – 6 orang matros atau pendayung, dan satu orang lamafa atau penombak ikan. Ikan paus yang ditangkap juga diatur jenis dan kondisinya. Ikan paus yang sedang hamil tidak boleh ditangkap. Jenis paus yang biasa ditangkap oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma. Namun, tidak semua paus dapat diburu, paus yang tidak diperbolehkan untuk diburu adalah paus biru. Hal ini berkaitan dengan cerita legenda Lamalera yang menghormati paus biru sebagai hewan yang pernah menyelamatkan Lembata. 

    Kebudayaan adalah atribut individu, yaitu hal yang menjadi ciri khas dari seorang individu. Hal tersebut menandakan bahwa mereka adalah bagian dari suatu kelompok masyarakat. Budaya berburu ikan paus tentu saja sudah menjadi ciri khas masyarakat Lamalera yang membedakan mereka dengan masyarakat yang lain di Pulau Lembata. Ciri khas tersebut merupakan ‘core values’ atau nilai inti, nilai yang dipercayai oleh masyarakat Lamalera karena merupakan budaya dari leluhur. Saat ini, hanya masyarakat Lamalera yang masih menjaga budaya berburu ikan paus di Indonesia. Di negara lain, seperti Jepang, perburuan paus juga masih dilakukan, tetapi untuk kepentingan komersial, bukan kepentingan adat. Budaya yang telah menjadi atribut dari suatu masyarakat diperoleh dari proses belajar, meniru, interaksi antar manusia, dan bertukar pikiran. Budaya perburuan paus di Lamalera telah ada sejak lima ratus tahun yang lalu, tetapi keberadaannya masih ada sampai sekarang. Hal ini dikarenakan budaya berburu paus masih diajarkan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Karena masih terjaganya budaya perburuan paus, interaksi sosial antarwarga Lamalera juga sangat terjaga. Di Lamalera, setiap ada yang berhasil menangkap ikan paus, dagingnya akan dibagikan ke warga desa. Hal ini dikatakan oleh seorang antropolog Jepang, Kotaro Kojima, yang telah melakukan studi etnografi di Lamalera sejak tahun 1993, ketika para pemburu melihat ikan paus yang besar, mereka langsung berkeinginan untuk menangkap paus tersebut dan dibagikan pada warga desa. Kekeluargaan di Lamalera sangat terjaga, karena antar masyarakatnya masih memperhatikan kepentingan Bersama dan tidak ada yang ingin menguasai hasil buruan secara pribadi. Paus yang sangat besar tidak habis jika hanya dikonsumsi oleh orang yang menangkapnya saja. Perburuan paus di Lamalera bukan semata-mata sebagai budaya saja, tetapi juga sebagai sistem jaminan sosial bagi warganya. Daging ikan paus hasil perburuan dibagikan kepada warga desa, terutama kepada janda, lansia, dan anak yatim. Interaksi sosial antar warga Lamalera juga tercermin pada transaksi di pasar yang masih menggunakan sistem barter. Di pasar Lamalera, pada pukul 09.00 WITA, peluit pertama dibunyikan yang menandakan uang boleh digunakan untuk transaksi jual beli. Lalu, pada pukul 11.00 WITA, peluit kedua dibunyikan, yang menandakan bahwa uang tidak diperbolehkan untuk transaksi jual beli, dan diberlakukan sistem barter. Para pedagang saling menukar barang miliknya, mereka menukar ikan dengan pisang atau ikan dengan jagung. 

    Perburuan paus menuai pro dan kontra, karena paus merupakan hewan yang dilindungi keberadaanya. Pelarangan perburuan paus diatur dalam moratorium Komisi Perpausan Internasional (International Whaling Comission) pada 1982, tetapi perburuan paus untuk komunitas adat dan tujuan ilmiah masih diperbolehkan. Beberapa lembaga menilai bahwa perburuan paus di Lamalera harus dihentikan karena paus merupakan hewan langka yang wajib dilindungi keberadaanya. Berbagai upaya telah dilakukan agar masyarakat Lamalera tidak berburu paus. Namun, upaya tersebut tidak berhasil. Masyarakat Lamalera masih berpengang teguh pada budaya perburuan ikan paus dan lumba-lumba, karena budaya berburu ikan paus, ikan pari, dan lumba-lumba telah ada sejak ratusan tahun lalu dan telah menjadi ciri khas masyarakat Lamalera sebagai pemburu paus. Atas dasar alasan adat itulah, perburuan ikan paus di Lamalera dilegalkan oleh pemerintah Indonesia, karena Indonesia belum memiliki hukum atau regulasi tentang perburuan tradisional terhadap spesies yang terancam punah. Dilansir dari phinemo.com, Komisi Perburuan Paus Internasional (International Whaling Comission) mengkategorikan perburuan paus di Lamalera sebagai perburuan tradisional yang masih diperbolehkan. Dengan melihat aspek ilmiah hingga aspek sosial budaya, Komisi Perburuan Paus Internasional memastikan bahwa kegiatan perburuan paus di Lamalera merupakan bagian dari kearifan lokal. 

    Paus memang hewan yang dilindungi dan tidak boleh diburu. Meskipun demikian, masyarakat Lamalera tetap mempertahankan budaya berburu paus, disisi lain masyarakat tetap memperhatikan kelestarian alam dengan tidak melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap paus. Musim untuk menangkap ikan pun telah diatur oleh adat, yaitu pada musim lewa. Selain pada musim lewa, masyarakat tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan. Perburuan paus di Lamalera juga telah menjadi budaya sejak lima ratus tahun yang lalu dan telah menjadi ciri khas masyarakat Lamalera sebagai pemburu paus, sehingga budaya berburu paus tidak bisa dipisahkan begitu saja dari masyarakat Lamalera. Hal tersebut menjadi dasar Komisi Perlindungan Paus Internasional untuk melegalkan perburuan paus di Lamalera.   


Referensi 

- Watchdoc Image. (2015, 14 Juni). Lewa di Lembata [Video]. YouTube, https://youtu.be/HkdcZQUcH1k 
- Kottak, Conrad Phillip. (2013). Cultural Anthropology : Appreciating Human Diversity. New York : McGraw-Hill. 
- Kurniasari, N., & Reswati, E. (2011). Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: Sebuah ekspresi hubungan manusia dengan laut. 
- Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 6(2), 29-33. kkp.go.id. Profil TNP Laut Sawu. Diakses pada 30 Oktober 2020. https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/page/352-profil-tnp-laut-sawu 
- Muztika. P. L., (2019, 28 Agustus). Perburuan tradisional paus Lamalera bisa lestari. Dua langkah awal yang bisa diambil. Diakses pada 30 Oktober 2020. https://theconversation.com/perburuan-tradisional-paus-lamalera-bisa-lestari-dua-langkah-awal-yang-bisa-diambil-120892 
- Firman, T. (2019, 4 Juli). Jepang yang Sulit Lepas dari Tradisi Perburuan Paus. Diakses pada 30 Oktober 2020. https://tirto.id/jepang-yang-sulit-lepas-dari-tradisi-perburuan-paus-edyn 
- National Geographic Indonesia. (2019, 12 November). Mengenal Budaya Perburuan Paus yang Dilakukan Masyarakat Lamalera. Diakses pada 31 Oktober 2020. https://nationalgeographic.grid.id/read/131916464/mengenal-budaya-perburuan-paus-yang-dilakukan-masyarakat-lamalera?page=all

Komentar