Another Perspective: Women and Society
Beberapa waktu belakang, aku merasa banyak yang janggal dengan hidup sebagai perempuan. Dikata sudah merdeka, tetapi banyak aturan dan norma di masyarakat yang mengatur hidup perempuan agar tidak melebihi batasan sewajarnya. Lalu kata siapa 'sewajarnya' itu? Apakah selamanya kebebasan itu fana dan tidak dapat diraih sepenuhnya oleh perempuan? Mengapa kehidupan di dunia ini berpihak pada lelaki sebagai pemegang otoritas utama?
 |
Purple Flowery; cr: novita's |
Perempuan di Masyarakat
Masyarakat terbentuk oleh aturan dan norma yang mengakar, termasuk pandangan gender biner: hanya ada laki-laki dan perempuan di dunia ini. Setiap laki-laki dan perempuan memiliki aturan yang mengatur dan membuatnya tidak bebas. Beberapa yang melanggar aturan di masyarakat dianggap sebagai orang yang 'tidak beradab' atau 'tidak tahu aturan'. Hal tersebut lazim terjadi di masyarakat konservatif seperti pedesaan yang menganut aturan dan norma masyarakat secara penuh, dan tidak memandang adanya alternatif hal lain yang lebih bebas dan inovatif. Seperti halnya, laki-laki dan perempuan hidup dalam dunia yang berbeda, laki-laki terkesan lebih bebas dan mampu melakukan apapun. Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dan cerdas menjadikan mereka memiliki otoritas yang lebih kuat, laki-laki mampu melakukan apapun dan diperbolehkan juga melakukan apapun. Sedangkan perempuan dianggap sebagai manusia yang lemah lembut dan hanya boleh terikat dengan tugas pengasuhan dan rumah tangga, serta tidak boleh melebihi kekuasaan dari laki-laki itu sendiri.
Masyarakat seringkali menganggap bahwa perempuan adalah manusia yang lemah, sehingga perlu untuk dilindungi oleh laki-laki. Perempuan memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengarungi kehidupan seluas-luasnya, karena terbentur oleh berbagai aturan dan norma, hal tersebut juga terkait dengan stereotip dari masyarakat, bahwa perempuan sebagai manusia lemah harus mendapat pendampingan dari laki-laki untuk melindunginya.
Pada tataran kehidupan konservatif di desa, perempuan bahkan tidak diberikan kesempatan yang luas untuk berkembang menjalani kehidupanya. Lazimnya ketika perempuan sudah menyelesaikan pendidikan menengah atas atau kejuruan (re: sma/smk) dan telah memiliki pacar atau laki-laki sebagai kekasihnya, orang tua dan tetangga memaksa untuk menikahkan mereka berdua dengan anggapan bahwa 'sudah bertemu jodoh dan sudah bekerja, ya nggak ada alasan lagi untuk langsung menikah'. Hal tersebut membudaya dan menjadikan pernikahan dini lazim terjadi di masyarakat, perempuan usia 17/18 tahun sudah menikah dan we never know what happened next to their life after marriage and also having a child.
Secara tidak langsung, memang kehidupan kita dibentuk oleh masyarakat, dan hal tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari as long as kita menjadi makhluk sosial. Karena tidak mungkin kita menjadi manusia soliter yang menghindari interaksi dengan makhluk hidup lainnya.
Pemisahan Kehidupan Laki-laki dan Perempuan
Dunia yang berbeda menjadikan kehidupan laki-laki dan perempuan sangat terpisah. Secara ajaran agama, terdapat konsep 'mahram' yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan dianggap haram, karena terdapat batasan jelas yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Sedangkan di masyarakat, terdapat pemisahan demikian untuk menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan dapat bersatu hanya dalam ikatan pernikahan atau ikatan keluarga, selebihnya, 'lazimnya' perempuan berbaur dengan perempuan, dan laki-laki berbaur dengan sesama laki-laki.
Masyarakat telah membentuk pemisahan tersebut dengan sangat jelas, bahkan dalam aturan sehari-hari di lingkungan RT, ibu-ibu harus berbaur dengan ibu-ibu dengan membuat forum tersendiri. Kedudukanya berbeda, ibu-ibu lebih banyak mengatur tentang tugas pengasuhan seperti Posyandu dan Posbindu, sedangkan Bapak-bapak banyak mengatur tentang keputusan RT. Dalam interaksi sehari-hari, lazimnya perempuan dan laki-laki memiliki lingkup pertemanan yang terpisah, bahkan muncul stereotip bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh berteman baik.
Faktanya, laki-laki dan perempuan memang dibatasi oleh masyarakat untuk hidup di dunianya masing-masing. Padahal, kita semua sama-sama makhluk Tuhan yang setara, sama-sama manusia yang bisa melakukan salah, kenapa masyarakat memisahkan sedemikian rupa?
Jika Begitu, Bisakah Menjadi Netral untuk Berbuat Baik?
Statement bahwa 'kita bisa menjadi netral untuk bisa berbuat baik pada siapapun', adalah pernyataan ekstrem yang saya pikir akhir-akhir ini. Ada dilema dalam membangun relasi dan batasan terhadap pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Aturan dari lingkungan selalu membatasi kehidupan laki-laki dan perempuan, seolah-olah sangat tabu dan tidak boleh bersama kecuali ada status 'pacaran' atau 'pernikahan'. Namun, tidak bisakkah kita hanya melakukan kebaikan dengan tujuan untuk manusia lain?
Memandang manusia lain "just being human" terlepas dari apa gender yang mereka miliki, keyakinan yang diyakini, atau kepercayaan yang dianut, agaknya lebih terasa netral dibandingkan kita selalu mengelompokkan manusia lain atas dasar gender. Seperti ketika 'saya tidak ingin berteman dengan dia karena dia laki-laki, perempuan dan laki-laki tidak boleh berteman'. Sesama manusia memang baiknya saling membantu dan berbuat kebaikan, jadi memandang manusia lain secara netral selayaknya manusia pada umumnya adalah hal baik untuk tetap menjaga batasan.
Batasan dan Kontrol Diri
Berbagai batasan dan aturan telah mengakar di masyarakat, dan kita tidak bisa mengelaknya, bahkan beberapa harus ditaati untuk membuat kita diterima oleh komunitas. Wajar jika memiliki pandangan yang bertentangan, tapi pastikan tetap sesuai dengan nilai diri dan menghormati aturan di komunitas.
Menjadi pemahaman umum bahwa perempuan seringkali dipinggirkan di masyarakat, dianggap lemah dibanding laki-laki, dan hal tersebut adalah kenyataan yang harus diterima. Namun bukan diterima begitu saja, perempuan harus tetap berdaya dan mandiri, membuktikan bahwa kita dapat melampaui apa yang kita tidak bisa.
Perihal berelasi dengan lelaki, sejujurnya sah-sah saja jika hanya pertemanan ke arah positif yang saling mendorong untuk berkembang menjadi lebih baik. Tetap hargai batasan dari masing-masing manusia dengan kontrol diri yang baik, karena tak jarang muncul perasaan di dalamnya. Sebagai manusia biasa yang mencoba mengalahkan perasaan dengan logika, rasanya mustahil untuk menghilangkan sepenuhnya perasaan subjektif. Sehingga kontrol diri sangat diperlukan untuk membatasi perasaan yang ada tidak berkembang menjadi hal yang tidak terduga, tetap fokus pada tujuan dan hal-hal krusial.
At The End, We Should Find Ourself
Pada akhirnya semua tentang kembali ke diri sendiri. Kita boleh untuk berpendapat seliar mungkin, tetapi diselaraskan dengan nilai yang dianut dan bagaimana nilai di masyarakat bekerja.
Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia akan selalu dikelilingi oleh manusia lainnya.
©Novita 2025
Komentar
Posting Komentar