Share with Story #18: Menjalani Tugas Dunia

Re-Write and Re-Think 

Jika ditanya, apa keinginan terbesarmu?

Hidup.

Aku hanya ingin menjalani hidup. 

Quarter life crisis di usia 20-an membuat aku cukup banyak bertaruh dengan kehidupan. Walaupun nggak banyak struggle lagi sekarang, tapi 2-3 tahun kebelakang rasanya jadi tahun-tahun terberatku untuk menemukan kembali apa itu hakikat menjalani hidup dan kehidupan, juga menghidupi sekitar. Keinginanya nggak lagi masalah materi atau jadi kaya raya, sesederhana bisa menjalani hidup lagi juga bagian dari pencapaian. Sedikit tulisan disini mencurahkan kekhawatiranku akan hidup dan bagaimana caraku melepaskan semuanya untuk tetap hidup. Bagaimanapun, kata Bernadya, hidup akan terus berjalan~

2020 dan Dunia Baru

Menjalani perkuliahan di fase pandemi menjadikan beberapa pengalaman yang harusnya aku dapat - hilang begitu saja. Meskipun demikian, sebagai anak daerah yang kecemplung di Jabodetabek - banyak hal baru yang dialami. Shifting - perubahan dari pola belajar, cara memahami suatu hal, berteman, berkoneksi, dan korelasi semua hal itu - menjadikan perubahan harus dilakukan dengan super cepat. 
Perkuliahan menjadi salah satu proses terbaru dalam hidupku yang mengajarkan berbagai hal, dan aku bersyukur bisa melihatnya sebagai proses menuju perubahan yang baik. 
Seiring berjalan waktu, ternyata aku yang dulu sering juara kelas, bukan apa-apa ya sewaktu kuliah. Dunia baru ini mengajarkanku bahwa terdapat berbagai macam hal yang keren juga dengan orang-orang yang luar biasa cerdas. Kalau selama ini aku hanya melihat orang-orang hebat dari materi (orang yang punya mobil, kaya raya, bisa ke luar negeri setiap bulan, artis) adalah orang yang sukses, disini argumenku 100% terpatahkan. Ternyata di dunia ini banyak manusia manusia hebat lainnya yang tidak selalu terlihat seluruh dunia, tapi mereka sukses di dunianya sendiri. 

2022 dan Semua Orang Sibuk

Semua orang sibuk membandingkan. Perkuliahan awal yang masih online - walaupun sudah mulai hybrid - cukup menguras energi. Beberapa kali sering re-group bersama teman-teman satu daerah dan kadang banyak sekali obrolan-obrolan 'adu nasib' yang membandingkan hidupnya tidak semenarik orang lain. Setiap kali scroll post atau story Instagram rekan lain selalu membandingkan 'dia keren sekali, dia hebat sekali'. Tapi, kenapa kita nggak pernah apresiasi diri sendiri dulu sebelum bilang orang lain keren? 
Menjadi benar bahwa kita tetap harus melihat orang lain, mungkin sebagai role model atau sebagai benchmark, tapi sepertinya tidak perlu berlebihan. 
Kita nggak akan pernah tau hidup orang lain, sosial media hanya memberikan sisi baik dan ter-keren dari seseorang. Tapi kita ngga pernah tau apa dibalik semuanya, bisa jadi memang dia sekeren itu atau bisa jadi juga hanya bagian dari citra dirinya. Aku pelajari bahwa semua orang sibuk, beberapa sibuk untuk menampilkan bagian terbaik dirinya, tapi beberapa juga sibuk untuk membandingkan dirinya. Padahal yang paling baik adalah membandingkan diri kita versi lama dan versi baru, biar hidup nggak penuh sesal karena nggak pernah berubah. 

2024 dan Hampir Menyerah 

Jadi arahnya kemana? 
Pertanyaan macam-macam dari semua orang menjelang lulus kuliah. Sepertinya memang dunia ini telah dikontruksi dengan sedemikian rupa sehingga acuan terkait sukses sangat sempit. Beberapa bahkan bilang bahwa sukses ketika memiliki pekerjaan sebagai 'pegawai atau pekerja kantor', tapi apa iya itu betul? 
Berbagai pertanyaan orang-orang cukup membuatku struggling mencari jawaban, yang harusnya tak dicari tapi memang harus dicari. Berbagai kegagalan yang dialami - termasuk pada relasi dan akademik - menjadikan aku terpaksa untuk berpikir ulang untuk menentukan arah kehidupan. 
Rasanya 2024 menjadi tahun-tahun sulit, juga menjadi yang paling banyak menantang. 2024 sudah berapa kali ingin menyerah karena tidak lagi menemukan makna untuk hidup dan kehidupan yang baik. Rasanya dunia yang berputar ini membosankan dan aku nggak pernah punya waktu untuk bisa menjadi apa yang aku ingin. Tapi, ternyata sampai saat itu juga aku nggak pernah tau apa yang aku inginkan. Niatan dan keberanian menyelesaikan hidup menjadi opsi waktu itu, sekaligus menjadi jalan untuk memikirkan kembali: Apa gunanya kita hidup? 

Hidup dan Kehidupan 

Hidup dalam kamus /hi·dup/ [v] masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya (tentang manusia, binatang, tumbuhan, dan sebagainya), adalah kondisi dimana eksistensi makhluk hidup itu ada dan mampu bergerak semestinya. Pasca lahir di dunia, memang manusia tidak bisa memilih untuk lahir dan dibesarkan dimana, tetapi punya keluasan untuk memilih bagaimana jalan kehidupan kedepan. 
Sejalan dengan hidup, kata terdekatnya adalah mati, sejauh mana kita menjadi sadar bahwa kedua hal tersebut sangat berkorelasi? Kematian lebih dekat, dan sangat dekat dengan kehidupan, makna itu aku dapatkan setelah sadar bahwa manusia dapat kapan saja menjadi mati, karena hakikatnya manusia itu lemah. Ketika kematian datang, untuk apa semua materi yang ada di dunia ini? Sia-sia dibuatnya. 
Karena manusia hakikatnya lemah dan dekat dengan kematian, seperti dikatakan dalam Buku Denial of Death, manusia menjadi berlebihan mencari simbolisasi untuk membuat dirinya terasa kuat dan berkuasa. Simbol seperti kekuasaan, harta, dan kekayaan menjadi cara manusia untuk membuat dirinya lebih kuat dari pada kelemahanya akan kematian. Tapi sekali lagi, manusia itu lemah dan dekat dengan kematian. 

Jadi, Tidak Perlu Bermimpi?

Memiliki pandangan dan tujuan itu perlu, impian juga perlu. 
Setiap orang berjalan dengan cara hidupnya masing-masing, mungkin beberapa ada yang bercita-cita menjadi pembuat kendi, atau menjadi pemilik toko buku. Impian yang bagi beberapa orang sebelah mata, adalah mimpi yang besar bagi seseorang. Hal paling buruk adalah bagaimana masyarakat - juga society - mengkonstruksi kehidupan orang-orang agar selaras dengan keinginan dan kebutuhan. 
Menjadi cukup akan lebih dari cukup, kita nggak perlu untuk jadi semua hal di dunia ini. Biarkan orang lain punya bagian juga untuk menghidupi kehidupan di dunia. Aku tidak harus bisa memasak, memancing, menjadi psikolog, menjadi peneliti, dalam satu waktu, delegasikan lainnya kepada orang lain saja. Karena hidup ini cukup dengan porsi dan kuantitas gelas masing-masing. 

Kemungkinan, go with the flow menjadi hal buruk. Juga sama buruknya ketika bercerita 'aku ingin menjadi pengajar' ditimpa dengan jawaban 'tapi gajinya sedikit, ngga worth it, sulit menjadi kaya', memang betul realitanya. Seperti demikian hidup di negara yang hanya berpihak pada 1% orang-orang yang menguasai ekonomi nasional. Kita memang dijebak dalam sistem yang dibuat oleh birokrasi, makanya, menciptakan hal dari diri sendiri itu perlu, sembari mencari jati diri yang masih perlu eksplorasi. 

Jawaban: Momento Mori 

Satu istilah bahasa latin yang terngiang, 'momento mori', ingatlah di hari akan kematianmu. 
Maka menyederhanakan dengan 'Ingin hidup dan menjalani tugas dunia', sejalan dengan pandangan mengenai kematian yang dekat dengan manusia. Rasanya tujuan hidup bukan lagi untuk berlomba mengumpulkan emas (melalui tambang destruktif) atau mengumpulkan 260 T (untuk kampanye) untuk menjalani hidup yang singkat ini. Tapi, menjalankan tugas-tugas dunia sampai semuanya usai menjadi ide yang baik pula - termasuk menjalani hubungan yang baik dengan manusia-manusia lain dan juga menjalani hubungan dengan Tuhan. 


Diakhir semuanya, meskipun hidup untuk menyelesaikan tugas dunia, tapi jangan sekadar hidup. Mengutip Buya Hamka: 
“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup.
Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”


Last but not least, lagu ini mungkin menjadi pengingat juga 


-
July 11, 2025
Novita  



Komentar