Hari-hari yang Lain
Ingatan akan kekaguman dan dambaan pada kebaikan membuatku lebih jauh melangkah maju padanya. Pada awal muara pertemuan kita yang penuh kaku, pun dengan obrolan yang tidak pernah berlanjut karena telanjur malu. Sore itu pernah sekali berkomunikasi tentang pekerjaan, hingga berlanjut menjadi tidak sengaja mengambil foto berdua di depan pohon besar yang penuh lalu lalang orang. Sekali dua kali ternyata pernah mencoba berteman, hingga obrolan berlanjut kadangkala di kereta petang menuju pulang.
Kepolosanku mengantarkan pada hubungan pertemanan kita yang sedikit aneh, kata orang begitu. Waktu itu tidak aku tau menau tentangmu, berpikir semuanya sama, pun ini menjadi kesalahanku tidak menjaga batasan. Kata orang begitu. Padahal rasaku, sejauh ini sudah menjaga banyak batasan dan tidak mencoba berjalan terlalu jauh, aku menghargai setiap batas dan keterbatasan yang kita jaga sebagai teman. Namun, hari-hari selanjutnya ternyata berbalik.
Udara dingin disambut oleh matahari pagi yang sekarang terbit setiap setengah enam pagi. Menjelajahi rute pagi dan berlari seperti biasanya, sedikit sulit mengubah kebiasaan lagi tetapi ada satu hal yang mendorong hidup untuk terus berjalan. Ditengah perjalanan dalam mencari, aku diperlihatkan dengan berbagai rubah dan gelap, menuju pada titik temu di kebun bunga. Kita berjalan pada biasanya, seringkali melanjutkan berlari sedikit lebih cepat. Lambat laun, langkah kita menuju pada ritme yang sama, membuatku sadar jika kita mulai bertemu di persimpangan jalan.
“Sampaikah disini?”
“Sudah sampai, bagaimana kehidupan?” aku tanya
“Aku sudah melihat berbagai emosi, kelelahan, dan ketakutan” begitu rupanya
“Sepertinya menuju jalan bersama, menjadi hal yang baik juga”
“Mari melanjutkan menulis peta yang hilang”
“Apakah tidak apa bersama?” sepertinya,
“Mari kita berjalan saja~”
Perjalanan baru ini mengawali kisah baru, sebetulnya ratusan surat itu yang menjadi pengantar. Kilas balik di tahun sebelumnya membuatku sadar bahwa kertas-kertas itu menjadi bukti penyusun harapan sampai pada masa kini. Sampai di suatu waktu, penggambaranmu dalam diriku menjadi semakin berwarna, dari sebelumnya abu-abu tak jelas yang mengusik. Ingatku akan untaian kata kala setelah rutinku bersimpuh pada pemilik hidup, jika memang ini salah dan tidak bermanfaat mohon hilangkanlah. Larung dengan panjatan kata yang terurai buru-buru, karena menahan rasa sepertinya tak cukup hanya dengan mengendalikan diri. Ternyata rasa dalam hati manusia terlalu lemah, kadang terlalu menguasai. Tiada daya upaya-lah kecuali hanya bisa meminta agar Tuhan tunjukkan jalan yang benar.
Setidaknya, benar tidaknya, sedikitnya untaian kata itu terjawab sudah. Sedikit lebih memunculkan rasa hidup dalam jiwa yang mencoba berdamai dengan sepi, pun dengan usaha mencintai hidup. Jika pagi lalu aku berjalan dengan kalut dan hampa yang menggema, saat ini setidaknya ruangku sedikit terisi, menerima dan memberi. Ruangku sepertinya mulai penuh membersamai dengan menerima kebaikan dari hati yang mencoba terpaut. Pun aku dapat memberi sedikit, bahkan banyak, dari ribuan yang aku miliki, menghidupi dengan menyiram memupuk yang lama diam dan mati.
Berandai -jika, menapaki jalan yang salah pun, dirimu akan menjadi bunga yang ditemukan, lalu tumbuh dan dirawat penuh kasih. Sampai kita di persimpangan jalan lagi, andaikan kata tidak lagi dapat mencurahkan rasa, dan badainya tidak lagi sama. Pada taatku pada pemilik semesta, aku akan tetap berjalan dan menggubah rasa, dan meluruskan arah dari-Nya. Waktuku bersimpuh, akan kupanjatkan kata dan upaya, kebaikan untuk kita. Disini ikhlas menjadi amin paling serius, mudah-mudahan aku lebih mahir untuk menjadi manusia yang lebih rela.
Oh. Arusnya membawa kita menuju jalan yang sama, begitupula waktu yang fana. Jika kita memang dipertemukan takdir, dan semesta memberi pertanda-pertanda, aku harap kita tidak pernah lupa, dan melupakan satu sama lainnya.
-
Ditulis dalam sore yang damai, dihantarkan mendung
Pada 11 November, 2025
Nvt
Komentar
Posting Komentar